band balada dari Bali, meluncurkan album terbaru mereka. Album tanpa
nama atau tak berjudul itu diluncurkan di Antida Cafe, Denpasar, Jumat
pekan lalu. Album ini bercerita tentang realitas kehidupan, spiritual,
hingga pergulatan intelektual. Peluncuran album ini dihadiri berbagai
kalangan, antara lain, aktivis mahasiswa, pegiat lembaga swadaya
masyarakat, seniman, dan para remaja tanggung.
Menurut para
personel Dialog Dini Hari, biarkan penikmat yang memberi nam. Itu yang
ingin mereka lakukan dengan peluncuran album keduanya itu.
Album ini berisi enam lagu. Ada lima lagu baru yakni Aku Dimana, Nyanyian Langit, Menutup Tirai, Lirih Penyair Murung, dan Manuskrip Telaga. Adapun satu single, Aku Adalah Kamu, sudah sempat dirilis sebelumnya.
Album
ini, seperti diakui oleh Dadang SH Pranoto (biduan dan gitaris), Brozio
Orah (bassis) dan Denny Surya (drummer), adalah pergulatan intelektual
dalam bermusik, realita kehidupan dan spiritual. Berbeda dengan album
pertama mereka, Beranda Taman Hati, yang bahasanya meskipun
puitis tetapi gampang dicerna, album ini memerlukan interpretasi dan
renungan agak mendalam jika ingin memaknainya. Namun, tema yang diangkat
masih tetap sama: kehidupan. Hanya saja, album ini memiliki perspektif
yang lebih luas.
Grup Dialog seolah ingin mengajak kita memasuki
realita kehidupan dalam imajinasi liar mereka. Namun mereka tetap
menyajikan musik dengan genre grassy-folk-blues. Suara Dadang yang agak sengau dan berat, kadang mengingatkan band ini dengan Iwan Fals.
Selain
menawarkan alternatif bermusik, mereka juga menyediakan teks yang
indah. Apa yang tersaji dalam album ini jika didengarkan sepintas, mirip
dengan musikalisasi puisi. Tapi ketika kita dengarkan bait per bait,
nada per nada, maka kita akan menemukan eksplorasi kekayaan bermusik
yang lebih luas dari sekadar musikalisasi puisi. Ada gesekan biola,
perkusi, akordion, tabla, dan sarod.
Album ini sejatinya bukan
kumpulan lagu yang mudah diterima pasar. Bahasa yang penuh kiasan, musik
yang tidak mendayu-dayu apalagi sendu membuat lagu-lagu Dialog Dini
Hari menjadi tidak biasa di kuping. Apalagi yang selera musiknya
dipengaruhi acara beberapa televisi swasta setiap pagi. Jauh berbeda
dengan ragam musik Indonesia hari ini. Akibatnya, ketika gagal memaknai
tiap nada dan makna setiap lagu, kita akan merasakan grup ini seolah
mengambil jarak dengan pendengar.
Simak saja lagu Menutup Tirai.
Pendengar mungkin saja menafsirkan lagu ini sebagai tembang saat-saat
menjelang kematian. Namun ketika cakrawala berpikir diperluas, kita akan
sadar, lagu ini bercerita tentang sebuah akhir dunia. Dialog Dini Hari
memberikan kebebasan berpikir untuk meresapi setiap kata dan menafsirkan
teks yang mereka sajikan. Lagu ini sepintas mirip lantunan doa yang
menenangkan tanpa bertendesi pada sebuah agama.
Renungan yang lebih spiritualis dihadirkan dalam lagu Lirih Penyair Murung.
Lagu ini bercerita tentang keterasingan, kesepian yang berujung dengan
kerinduan pada Tuhan. Namun kerinduan ini dihadirkan dengan lirik
menyentuh berisi pujian kepada Tuhan. Sisi spiritual ini dihadirkan
tanpa ada kesan menggurui kepada pendengarnya. Renungan spiritual ini
juga dihadirkan dalam lagu Nyanyian Langit. Bahwa Tuhan dan manusia adalah sesuatu yang tidak terpisahkan. Keduanya dipererat dengan doa dan kenyataan.
Pada lagu Aku Dimana,
kita diajak untuk merenungi keterasingan. Dalam lagu ini, keterasingan
justru lahir dari sebuah persamaan. Keterasingan dalam persamaan ini
membuat mereka memahami arti perbedaan. Dialog Dini Hari mengajak kita
menjadi bijak bagaimana kita melihat perbedaan. Dengan tempo yang
lambat, lagu ini membiarkan kita untuk berpikir secara merdeka tentang
siapa kita sebenarnya.
Lagu yang benar-benar mewakili roh album ini justru ada pada lagu Manuskrip Telaga.
Jika album ini ingin menghadirkan misteri dan teka-teki, dengan
membiarkan pendengar memberikan tafsir atas mereka, lagu inilah yang
mewakili ambisi mereka. Mereka ingin membuat kita merasa seperti telaga
yang mampu menampung apa saja dalam kehidupan.
Album ini
menegaskan bagaimana band ini menafsirkan cinta, realita, dan Tuhan
dalam bentuk sederhana. Ruang makna yang sangat luas mampu mereka
manfaatkan untuk merangkai kata-kata yang tidak cengeng, dogmatis,
apalagi tendensius. Semuanya mengalir begitu saja.
No comments:
Post a Comment