Friday, January 24, 2014

Guruh-Gipsy,

Musik Guruh-Gipsy ini adalah karya kolaborasi antara Guruh Sukarnoputra, seniman putra bungsu Presiden Pertama RI dengan Ibu Fatmawati bersama grup band rock asal Jakarta “Gipsy”. Proyek kolaborasi ini memakan waktu setahun (1975-1976) dan hanya membuahkan 1 kaset yang terdiri dari 6 lagu. Kaset ini dirilis tahun 1976 tanpa pernah dipentaskan di atas panggung.
Meskipun demikian, menurut kritikus musik Denny Sakrie, karya ini disebutnya sebagai “tonggak musik ‘progressive-rock’ di Indonesia” . Saya tidak sepenuhnya sepakat dengan istilah “progressive” itu, karena istilah ini akan mengacu pada musik yang cepat, ritmis dan keras. Musik mereka tidaklah demikian. Saya lebih pas dengan istilah ‘art-rock’ yang rumit, njlimet dan bernuansa klasik. Meskipun demikian saya sepenuhnya sepakat bahwa karya kolaborasi ini sangat bagus dan sangat pantas untuk menyandang predikat “Ikon musik Indonesia”.
The Gipsy atau Gipsy adalah band dengan kemampuan personil dan aransemen musik yang dapat digolongkan dalam grup band dahsyat di tanah air, sejajar dengan God Bless, Rollies dan AKA/SAS. Tapi karena orientasi musiknya yang tidak umum (saya memakai istilah “salah jalur”), karena mereka lebih sering memainkan aransemen Genesis,Yes dan Pink Floyd, yang tidak sepopuler musik hard rock yang ketika itu disukai seperti: Deep Purple, Led Zeppelin, Chicago, dll. Jadi, namanya memang sejak awal tidaklah terlalu terkenal, biarpun mereka lama bermain di luar negeri.
1302653181409607560
sampul kaset
Guruh Sukarnoputra, ketika itu adalah “Mr. Nobody” dalam hal musik. Meskipun punya pengetahuan luas dan mendalam tentang musik tradisional Indonesia, khususnya Bali, proyek kolaborasi ini adalah karya pertamanya di bidang musik.
Guruh dan Gipsy sepakat berkolaborasi memadukan musik rock ala Gipsy dalam nuansa Bali! Meskipun mereka bukan yang pertama dalam segala hal.  Bukan grup band rock Indonesia pertama yang merekam lagunya. Bukan pula  grup band yang berusaha mencampurkan musik tradisional yang pentatonis ke musik ‘westernized’ yang diatonis. (AKA dan Rollies sudah mulai merekam lagu mereka tahun 1973, dan meskipun cukup berhasil dalam pemasaran. Lagu-lagu ciptaan mereka sangat jauh dari “kegaharan” mereka di panggung. God Bless merekam lagu syahdu Huma di atas Bukit 1975 dengan menyisipkan aransemen “Firth to Fifth” punya Genesis)
Memadukan musik Bali dengan musik Barat juga bukan barang baru. Ray Manzarek (The Doors) pernah melakukannya (The Golden Scarab, 1971), juga pemusik Jerman, Eberhard Schoener bersama grupnya Bali Agung bahkan berkali-kali membuat komposisi dengan gamelan Bali. Di dalam negeri, Harry Roesli lebih dulu memadukan degung Sunda dalam musiknya Opera Ken Arok !973.
Meskipun demikian, karya kolaborasi ini tetap fenomenal, musiknya yang unik, syairnya yang melagukan rintihan Bali yang sedang dilindas modernisasi, bahkan masih relevan dengan kondisi kini. Dan hasilnya merupakan musik yang sungguh cerdas dan apik.
Proyek ini diawaki oleh personil Gipsy :  3 Nasution bersaudara; Keenan (drums, vokal), Odink (gitar), Gaury (gitar), Ronny Harahap (piano, keyboard, vokal, aransemen musik), Chrisye (bass, vokal), Abadi Soesman (moog synthesizer) bersama Guruh (pengarang semua lagu), Hutauruk Sisters (Berlian, Tarida, Bornok, Rugun), para pemusik tradisional Bali pimpinan I Gusti Kompyang Raka dengan bintang tamu Trisuci Kamal (piano klasik).
Album ini langsung mendapat kritik keras dari para pemusik tradisional Bali. “Musik Bali telah dirusak!” demikian menurut pendapat mereka. Dan meskipun gagal dalam pemasaran, banyak hal baru yang terjadi dalam proses pembuatan album ini.
Guruh, yang tadinya bukan siapa-siapa dalam musik, menjadi percaya diri dan mulai mengibarkan benderanya sendiri setelah ini dalam Swara Mahardika. Album ini juga melambungkan nama Berlian Hutauruk, penyanyi bersuara sopran itu. Tarida, Bornok dan Rugun kemudian lebih dikenal sebagai Trio Bebek, sering mendampingi pentas Swara Mahardika. Dan yang paling penting, untuk pertama kalinya masyarakat Indonesia mulai mengenal suara sendu Chrisye yang menyanyikan lagu “Chopin Larung“. Setelah ini, Chrisye menjadi lebih terkenal sebagai penyanyi ketimbang sebagai bassist yang handal.
Meskipun bukan karya terbaik dalam album ini, lagu Chopin Larung (7menit 15detik), yang dibalut dengan bahasa Bali, sungguh suatu lagu yang indah. Menceritakan keprihatinan Guruh pada budaya asing (yang dikiaskan kepada Frederych Franciszek Chopin, komponis asal Polandia) yang meng-invasi budaya Bali:
Sang jukung kelapu-lapu, santukan baruna kroda
Nanging Chopin nenten ngugu, kadangipun ngarusak seni budaya
(Perahu terombang-ambing ,karena dewa laut murka.
Namun Chopin tiada memahami bangsanya merusak seni budaya)
Sedemikian jauh eksplorasi para pemusik ini, sehingga suara piano dalam lagu ini berasal dari Grand Piano yang sudah lama tidak digunakan dan tidak disetem lagi. Suara piano yang sumbang ini justru dianggap cocok untuk lagu ini.
Bahkan menurut Denny Sakrie, album ini adalah mahakarya karena dalam pencapaian artistik, album ini dianggap mampu memberi inspirasi untuk generasi berikutnya.
Meskipun sudah hampir 35 tahun berlalu, album ini masih dibicarakan sebagai ikon seni musik ‘progresive-rock’ di luar negeri. Majalah Rolling Stone Indonesia bahkan menempatkan album Guruh-Gipsy ini di posisi ke 2.,  dalam “150 Album Indonesia Terbaik Sepanjang Masa” pada tahun 2007.

1 comment:

  1. tribute to Indonesian Legends https://www.youtube.com/watch?v=1qb_9XfmQI0

    ReplyDelete