Musik Guruh-Gipsy ini adalah karya
kolaborasi antara Guruh Sukarnoputra, seniman putra bungsu Presiden
Pertama RI dengan Ibu Fatmawati bersama grup band rock asal Jakarta
“Gipsy”. Proyek kolaborasi ini memakan waktu setahun (1975-1976) dan
hanya membuahkan 1 kaset yang terdiri dari 6 lagu. Kaset ini dirilis
tahun 1976 tanpa pernah dipentaskan di atas panggung.
Meskipun demikian, menurut kritikus
musik Denny Sakrie, karya ini disebutnya sebagai “tonggak musik
‘progressive-rock’ di Indonesia” . Saya tidak sepenuhnya sepakat dengan
istilah “progressive” itu, karena istilah ini akan mengacu pada musik
yang cepat, ritmis dan keras. Musik mereka tidaklah demikian. Saya lebih
pas dengan istilah ‘art-rock’ yang rumit, njlimet dan bernuansa klasik.
Meskipun demikian saya sepenuhnya sepakat bahwa karya kolaborasi ini
sangat bagus dan sangat pantas untuk menyandang predikat “Ikon musik
Indonesia”.
The Gipsy atau Gipsy adalah band dengan
kemampuan personil dan aransemen musik yang dapat digolongkan dalam
grup band dahsyat di tanah air, sejajar dengan God Bless, Rollies dan
AKA/SAS. Tapi karena orientasi musiknya yang tidak umum (saya memakai
istilah “salah jalur”), karena mereka lebih sering memainkan aransemen
Genesis,Yes dan Pink Floyd, yang tidak sepopuler musik hard rock
yang ketika itu disukai seperti: Deep Purple, Led Zeppelin, Chicago,
dll. Jadi, namanya memang sejak awal tidaklah terlalu terkenal, biarpun
mereka lama bermain di luar negeri.
Guruh Sukarnoputra, ketika itu adalah
“Mr. Nobody” dalam hal musik. Meskipun punya pengetahuan luas dan
mendalam tentang musik tradisional Indonesia, khususnya Bali, proyek
kolaborasi ini adalah karya pertamanya di bidang musik.
Guruh dan Gipsy sepakat berkolaborasi
memadukan musik rock ala Gipsy dalam nuansa Bali! Meskipun mereka bukan
yang pertama dalam segala hal. Bukan grup band rock Indonesia pertama
yang merekam lagunya. Bukan pula grup band yang berusaha mencampurkan
musik tradisional yang pentatonis ke musik ‘westernized’ yang
diatonis. (AKA dan Rollies sudah mulai merekam lagu mereka tahun
1973, dan meskipun cukup berhasil dalam pemasaran. Lagu-lagu ciptaan
mereka sangat jauh dari “kegaharan” mereka di panggung. God Bless
merekam lagu syahdu Huma di atas Bukit 1975 dengan menyisipkan aransemen “Firth to Fifth” punya Genesis)
Memadukan musik Bali dengan musik Barat juga bukan barang baru. Ray Manzarek (The Doors) pernah melakukannya (The Golden Scarab,
1971), juga pemusik Jerman, Eberhard Schoener bersama grupnya Bali
Agung bahkan berkali-kali membuat komposisi dengan gamelan Bali. Di
dalam negeri, Harry Roesli lebih dulu memadukan degung Sunda dalam
musiknya Opera Ken Arok !973.
Meskipun demikian, karya kolaborasi ini
tetap fenomenal, musiknya yang unik, syairnya yang melagukan rintihan
Bali yang sedang dilindas modernisasi, bahkan masih relevan dengan
kondisi kini. Dan hasilnya merupakan musik yang sungguh cerdas dan apik.
Proyek ini diawaki oleh personil Gipsy :
3 Nasution bersaudara; Keenan (drums, vokal), Odink (gitar), Gaury
(gitar), Ronny Harahap (piano, keyboard, vokal, aransemen musik),
Chrisye (bass, vokal), Abadi Soesman (moog synthesizer) bersama Guruh
(pengarang semua lagu), Hutauruk Sisters (Berlian, Tarida, Bornok,
Rugun), para pemusik tradisional Bali pimpinan I Gusti Kompyang Raka
dengan bintang tamu Trisuci Kamal (piano klasik).
Album ini langsung mendapat kritik
keras dari para pemusik tradisional Bali. “Musik Bali telah dirusak!”
demikian menurut pendapat mereka. Dan meskipun gagal dalam pemasaran,
banyak hal baru yang terjadi dalam proses pembuatan album ini.
Guruh, yang tadinya bukan siapa-siapa
dalam musik, menjadi percaya diri dan mulai mengibarkan benderanya
sendiri setelah ini dalam Swara Mahardika. Album ini juga
melambungkan nama Berlian Hutauruk, penyanyi bersuara sopran itu.
Tarida, Bornok dan Rugun kemudian lebih dikenal sebagai Trio Bebek,
sering mendampingi pentas Swara Mahardika. Dan yang paling penting,
untuk pertama kalinya masyarakat Indonesia mulai mengenal suara sendu
Chrisye yang menyanyikan lagu “Chopin Larung“. Setelah ini, Chrisye menjadi lebih terkenal sebagai penyanyi ketimbang sebagai bassist yang handal.
Meskipun bukan karya terbaik dalam album ini, lagu Chopin Larung
(7menit 15detik), yang dibalut dengan bahasa Bali, sungguh suatu lagu
yang indah. Menceritakan keprihatinan Guruh pada budaya asing (yang
dikiaskan kepada Frederych Franciszek Chopin, komponis asal Polandia)
yang meng-invasi budaya Bali:
Sang jukung kelapu-lapu, santukan baruna krodaNanging Chopin nenten ngugu, kadangipun ngarusak seni budaya
(Perahu terombang-ambing ,karena dewa laut murka.
Namun Chopin tiada memahami bangsanya merusak seni budaya)
Sedemikian jauh eksplorasi para pemusik
ini, sehingga suara piano dalam lagu ini berasal dari Grand Piano yang
sudah lama tidak digunakan dan tidak disetem lagi. Suara piano yang
sumbang ini justru dianggap cocok untuk lagu ini.
Bahkan menurut Denny Sakrie, album ini
adalah mahakarya karena dalam pencapaian artistik, album ini dianggap
mampu memberi inspirasi untuk generasi berikutnya.
Meskipun sudah hampir 35 tahun berlalu,
album ini masih dibicarakan sebagai ikon seni musik ‘progresive-rock’ di
luar negeri. Majalah Rolling Stone Indonesia bahkan menempatkan album Guruh-Gipsy ini di posisi ke 2., dalam “150 Album Indonesia Terbaik Sepanjang Masa” pada tahun 2007.
tribute to Indonesian Legends https://www.youtube.com/watch?v=1qb_9XfmQI0
ReplyDelete