Monday, February 10, 2014

Tika and The Dissidents, Sebuah Kolase yang Memprovokasi

IndonesiaSeni.com, Jakarta - Tika and The Dissidents, sebuah band yang memprovokasi pendengarnya untuk mencoba berpikir ulang, membuka ruang pandang dan kemungkinan tentang berbagai hal; Bahwa cinta tak hanya sah bila dijalani antara laki-laki dan perempuan saja. Patah hati tak harus membuat kita menjadi cengeng. Bahwa televisi ternyata bukan teman terbaik kita, karena realitas yang tersaji di layar kaca seperti bius yang mematikan, membuat kita lupa dan malas untuk berpikir kritis. Pembunuhan intelektualitas yang dianalogikan seperti ketika Pol Pot membantai ribuan orang tak berdosa di Kamboja itu disampaikan dalam irama tango yang segar dengan lirik seperti ini :

It’s the nation’s celebration of amnesia
Who’s the real bad guy after all
When the nation tunes into their television
Weeping and waving goodbye
Underneath the silky road that his daughter paved us
Lies a million nameless graves
But the magic box’s a potent anasthesia…

Di balik lirik-lirik ini terdapat seorang wanita bernama Kartika Jahja, yang lebih suka dipanggil Tika. Ia vokalis sekaligus penulis lirik di album The Headless Songstress, juga ikon utama band ini. Sebelumnya Tika lebih dikenal sebagai penyanyi solo di scene indie, dan telah mengeluarkan dua album di tahun 2005 yaitu Frozen Love Songs dan Defrosted Love Songs. Melalui dua album tersebut, Tika dikenal sebagai penyanyi solo wanita yang unik, bukan saja karena kemampuan teknik vokalnya yang kuat, tetapi juga karena lagu-lagunya yang cenderung bernuansa gelap dan lirik-lirik yang mengekspresikan kegalauan, yang diinterpretasi sebagian orang sebagai musik yang ‘berat’. Kini Tika ditemani oleh Susan Agiwitanto (bass), Okky Rahman Oktavian (Drum) dan Luky Annash (Piano dan Keyboards). “Awalnya pada tahun 2006, dulu setiap kali mau manggung pusing dengan masalah nyari additional player. Akhirnya waktu itu gue dan Iman Fattah produser gue, mikir waktu itu kita harus nyari band nih buat lo akhirnya bergabunglah anak-anak ini. Dan akhirnya kita bikin lagu, dan pada saat bikin album, kayaknya ini cocoknya Tika and The Dissidents, karena mereka juga equal dalam proses album ini, dan influence terbesar gue pada saat itu memang musiknya mereka. Jadi akhirnya terbentuklah Tika and The Dissidents. Dan gue menemukan rumah gue di sini.”


foto_tika5

Di kedai kecil miliknya di bilangan Kemang, Tika bercerita mengenai isu-isu yang menjadi perhatian dan inspirasi dalam menulis lirik untuk albumnya. Salah satunya mengenai tayangan-tayangan di televisi. “Gue dulu sempet puasa nonton TV selama 5 tahunan, karena setiap kali nyalain TV, itu pasti gue marah-marah dan mood gue jadi jelek. Mereka kok bikin acara TV ini sih, ini ditonton jutaan orang, mereka tau ga sih? Sampai akhirnya gue berpikir kalo gue marah-marah kayak gini gak ada gunanya buat siapa-siapa. Dari situ gue mulai nonton TV lagi, dengan sudut pandang yang berbeda, dengan cara mengolok-olok apa yang kita lihat di televisi dan lebih luasnya lagi di kehidupan sehari-hari. Dan lirik dalam album ini sifatnya tidak menuding, dalam artian ‘lu brengsek gua bener’, tapi kita mengolok-olok apa yang menurut kita pantes buat dikritisi.”

Apa yang mau kamu sampaikan kepada pendengar band kamu?
“Muluk-muluk kalo gue bilang ingin melakukan perubahan, karena yang kita lakukan hanya ingin memberikan opini dari sudut pandang kita karena pada saat itu ada beberapa tema yang menurut gue mubazir untuk dijadikan sebuah karya. Dan nggak ada tendensi untuk membuat orang beropini sama dengan kita. Dan ada beberapa hal yang inspiratif sekali buat gue, yang ada di otak dan kenapa gak dituangkan ke dalam lirik. Dan dengan cara penulisan yang gak terlalu lugas juga, jadi kita juga implisit cara menulisnya, gak mungkin orang langsung nangkep ini tentang apa. Kecuali orang itu bener-bener baca dan mencoba menalarkan itu. Itu karena gue gak mau bikin jadi beban moral, karena kita emang gak ada tujuan untuk bikin sesuatu yang sifatnya righteous atau punya pesan moral atau apa. Kalo misalnya perubahan apa yang bisa kita buat ya mungkin bisa sedikit memprovokasi kali ya. Kayak misalnya lagu Pol Pot itu gue seneng banget beberapa orang yang tadinya tidak tahu Pol Pot jadi search di google, jadi tahu siapa dia dan menurut gue itu udah lumayan, it’s a step lah. Dibandingkan kalo kita misalkan terus-terusan nulis tentang cinta lagi, cinta lagi, yang mana lagu tentang itu sebenernya juga ada di album ini, cuma kita mencoba untuk membungkusnya dengan sesuatu yang lebih provokating lah buat orang-orang supaya bisa dibahas.”

Tika mengaku tidak memiliki ekspektasi maupun target yang muluk-muluk ketika menuliskan lagu-lagunya. “Tapi setidaknya, mengeluarkan pendapat itu penting karena orang Indonesia bukan takut lagi, tapi malu untuk memberikan pendapat. Kalo jaman dulu mungkin takut ya karena kita ditekan banget untuk berpendapat. Tapi kalo jaman sekarang mungkin lebih ke ‘ah udah enak kok, semuanya baik-baik aja, ga ada yg salah’ udah apatis gitu padahal di kehidupan kita tuh selalu aja ada yang patut dikritisi.”

Penyanyi yang memiliki hobi membaca ini mencoba untuk memberikan opininya mengenai isu-isu yang sebenarnya sudah lama menjadi ketertarikannya dan terbawa ketika ia menulis lagu, baik ketika masih bernyanyi solo maupun sekarang bersama bandnya. Ia mencontohkan salah satu lagunya, Gugur Sepatu, yang terdapat di album solonya, merupakan analoginya mengenai ketergantungan perempuan terhadap laki-laki. Begitu juga lagu Under Their Feet, yang bercerita mengenai sistem opresif.

Ketertarikannya seputar isu gender, hak asasi manusia, hingga budaya massa, berawal dari sebuah buku yang ia baca di penghujung 90-an, novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Ia mengibaratkan novel tersebut sebagai pintu yang membuka rasa keingintahuannya, sehingga kemudian ia mencari bacaan-bacaan lain, di antaranya novel-novel karangan Chuck Palahniuk hingga teks-teks wajib anarkisme, nihilisme, dan buku-buku keluaran CrimethInc. untuk terus memperkaya dirinya dengan pengetahuan baru yang akhirnya dari sana kemudian berevolusi hingga ke lirik-lirik yang ditulisnya. “Mungkin sebenernya ada magnet, ketertarikan gue untuk menulis lirik-lirik seperti itu tanpa disengaja. Tapi gue gak mau itu kemudian jadi label bagi diri gue untuk terus menulis hal-hal seperti itu karena jadinya kayak tuntutan, gak seru lagi. Jadi dibiarkan mengalir aja, kalo lagi patah hati ya gue nulis tentang lagu patah hati cuma cara penulisannya aja jangan yang vulgar ampe bunuh diri hahaha..”

Inspirasinya ketika membuat lagu menurutnya bisa didapat dari mana saja, ia mencontohkan ketika proses pembuatan album The Headless Songstress ia terinspirasi bukan saja dari buku Sedaris karangan Kevin Kopelson, sebuah novel satir sosial di Amerika yang saat itu tengah dibacanya, tetapi juga ia rajin menyimak TV, sinetron, tayangan reality show, iklan-iklan pemutih wajah, hingga kebrengsekan manusia yang ia temui di kehidupan sehari-hari.

Kolase
Album The Headless Songstress milik Tika and The Dissidents rupanya mendapat tanggapan positif dari publik penikmat musik Indonesia. Tahun 2009, album ini mendapat penghargaan sebagai album terbaik versi Majalah Tempo. Sekilas saja memperhatikan album ini terasa sekali bahwa mereka tidak asal-asalan ketika menggarap sebuah album. Ketika yang lain merilis album dengan standar yang sudah ada, mereka justru keluar dari aturan umum dengan membungkus setiap album menggunakan kain yang berbeda-beda untuk setiap albumnya, kemudian mereka menyelipkan sebuah notebook mungil di mana pendengar mereka bisa menuliskan hal apapun.

“Aku ingin mencari sesuatu yang lebih manusiawi dibandingkan dengan sesuatu yang kayaknya termanufaktur banget, cetakan yang sama, dan sebagainya. Aku ingin sesuatu yang lebih personal, gimana supaya lebih seperti itu aku mikir kalo pake bungkus kain itu kayaknya feelingnya lebih warm aja dibanding dengan misalnya bungkus plastik, plus di dalamnya ada notebook. Nah, notebook itu, kenapa dikasih halaman kosong, karena kita pengen jadi bagian dari isi otak kepala orang yang beli album kita. Mereka bisa catet hal apapun itu. Dengan begitu kita udah jadi bagian dari hidup mereka, dari pikiran mereka. Jadi kayak let’s make a connection between us and the listeners dengan memberikan sesuatu yang bisa mereka gunakan untuk mengeluarkan isi otak mereka. Tadinya kepikiran apa ya untuk ngasih sesuatu yang affordable gitu, mungkin lucu juga kalo kasih mereka suatu media recording yang bisa mereka kirim balik ke kita, what you think about us. Cuma kayaknya itu mahal banget ya hahahaha..”

Konsep album ini seperti apa?
“Sebenarnya kita tidak membuat konsep apa-apa pada saat membuat musiknya, jadi semuanya serba dibebasin aja, terserah mau bikin apa. Dan kita berlima memiliki latar belakang yang berbeda banget, baik dari selera musiknya, referensi, dan lain-lain. Kita gak pernah menetapkan mau jadi satu paket genre atau apa. Baru setelah itu, kita bikin benang merahnya, dan akhirnya kita menemukan konsep kolase. Karena album ini rasanya seperti guntingan dari berbagai macam style yang digabung jadi satu komposisi. Sehingga untuk art worknya, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan album ini sampai ke marketingnya kita pake kata kunci itu, kolase.” Jelasnya.

Jadi awalnya spontan aja ya?
“Ya, kita merasa beruntung sekali, karena kita betul-betul 4 orang yang bertolak belakang, kepribadiannya, dan sebagainya. Sehingga pada saat kita merembukkan sesuatu misalnya, hasilnya selalu unpredictable, karena ya itu tadi. Kadang akhirnya malah muncul sesuatu yang aneh dan oh iya yah, lucu juga kalo digituin misalnya. Jadi kalo misalnya mungkin ada beberapa orang yang bilang ini terkonsep sekali, padahal sebenernya kita tidak mengkonsep itu sama sekali sampai akhirnya itu jadi, baru abis itu kita bungkus. Kalo secara musik aku merasa kayak mereka itu seperti wadah, gelas atau botol, kemudian aku cuma air yang mengikuti apa yang udah mereka bikin. Cuma mungkin wadahnya untuk setiap lagu itu beda-beda. Kalo aku analogiin yang satu ini ada botol kecap dalam satu lagu, lagu yang lain mungkin gelas atau vas, cuma isi di dalamnya sama, yaitu suara gue, kemudian itu yang jadi benang merah di album ini. Karena mungkin di satu bagian ada si drummer mendominasi, di satu lagu lain mungkn si pianis atau bassis yang dominan, dan aku mencoba untuk mengisinya dengan sesuatu yang konsisten dalam tiap lagu.”

Tika lantas bercerita bagaimana ia dan anak-anak muda yang terlibat di dalamnya mengerjakan album ini dengan totalitas, mulai dari membuat label sendiri hingga pemasarannya. “Sebenernya semuanya fall into placesnya aja karena pertama, kita gak punya label jadi akhirnya kita bikin label dengan tim marketing yang teman-teman juga dan mereka juga gak punya pengalaman yang banyak sebelumnya di dunia marketing dan industri musik. Tapi yang lebih penting adalah mereka punya passion yang luar biasa terhadap band ini sehingga mereka bener-bener tau luar dalamnya, sehingga bila dikatakan ini sebuah produk, mereka menjual produk ini tanpa mengubah produknya sehingga jadinya mungkin lebih jujur aja gitu ya, sesuai dengan hati nurani kita aja. Sehingga istilahnya what you see is what you get. Dan tidak disangka-sangka ternyata anak-anak ini mampu walaupun mereka masih muda-muda. Jadi menurut gue, lo pada saat lo passion terhadap sesuatu, walaupun secara penghasilan duit mungkin gak seberapa, tapi pada saat lo melakukan apa yang lo suka itu akan terasa lebih memuaskan.”

Terminologi Indie
Tika termasuk musisi yang menaruh perhatian terhadap perkembangan industri musik tanah air dan prihatin terhadap kondisi musik indie di Indonesia yang terjebak dalam terminologi major label vs indie label, hingga ia menyarankan terminologi itu sebaiknya dihapus karena, “Intinya sih, sesuatu itu kalo misalnya udah ada terminologinya kemudian jadi lebih mudah untuk dieksploitasi. Gue ngalamin banget tuh mengenai terminologi indie. Dan aku menyaksikan saat band-band indie ini lahir di pertengahan 90an, dan menurut gue itu sesuatu hal yang gila banget, ada spirit yang luar biasa banget pada waktu itu kemudian semakin ke sini semakin luas, sehingga kemudian dicomotlah itu dan sekarang kan banyak banget mulai dari merk motor, merk rokok, yang memanfaatkan mereka dan itu kemudian menurut gue kayak udah kehilangan nyawanya bahkan bisa dibilang udah mati sebenernya cuma orang-orang kemudian memakai terminologi itu terus menerus dan akhirnya yang kepepet, yang terekploitasi sekali lagi adalah artis-artisnya. Karena untuk sebuah panggung dengan satu band major, yang lagi di atas banget sekarang, itu mereka bisa dapetin 15 sampe 20 band indie dengan harga yang sama dan itu bisa dibilang murah gitu kan. Dan itu lebih untuk kepentingan si brand-brand ini.”

Spirit indie yang awalnya sebagai sebuah pemberontakan terhadap kemapanan itu dirasakannya semakin mengabur, ketika kini begitu banyaknya band-band baru bermunculan dengan membawa-bawa nama indie. “Sekarang musiknya juga udah gak jelas, yang ngaku-ngaku indie segala macem itu udah semakin gak jelas trus ada banyak label-label kecil yang bilang oh kita indie label segala macem tapi jualan RBT dengan lagu-lagunya yang gitulah, minor-minor melayu,” ucapnya sambil menyebut salah satu band yang kini sering muncul di layar kaca. Ia melanjutkan penilaian antara aspek apresiasi dengan aspek komersil industri musik Indonesia saat ini belum seimbang. “Ada penghirarkian musik, di mana satu sisi yang menganggap hirarki itu berdasarkan komersialitas yang mana yang paling atas dianggap yang paling laku; di satu sisi ada juga yang melihat apresiasi, yang paling njelimet adalah yang paling bagus. Sekarang banyak muncul interpretasi juga ya kayak kalo aneh itu berarti indie kadang-kadang dari dandanan lah, jadi kayak termanufactured ya menurut gue. Dan ada beberapa orang yang yang ngeliat ‘wah, kalo lo imagenya kayak anak bandel dan ternyata banyak yang suka, ya udah lo terusin aja’ dan mereka bener-bener ngedorong sampe push it to the limit, didorong terus, diperas sampe sari-sarinya hilang, sampe jadi gak sehat. Sehingga spiritnya, nyawanya, udah lama mati tapi namanya masih dipake terus. Nah kalo kayak gitu kan mendingan dihapusin aja sekalian karena kasian jadinya. Dan lebih baik kita pake istilah musik ya musik aja, pilihannya berdasarkan selera.”

Di sela-sela wawancara, Tika memesan secangkir espresso untuk menyegarkan badannya. Ia bercerita hari itu baru tidur selama 2 jam saja dan paginya harus ke studio untuk membantu proses rekaman band temannya. Meski terlihat agak sayu, namun ia tetap bersemangat meladeni obrolan kami dan bercerita mulai dari musisi kesukaannya seperti Vina Panduwinata, Suzanne Vega dan Nina Simone; The Invisible Monster, sebuah novel yang paling berkesan baginya di antara buku-buku karangan penulis favoritnya, Chuck Palahniuk; keinginannya untuk membuat album hip-hop seandainya saja ia bisa bernyanyi rap, hingga rencana-rencananya ke depan, seperti keinginannya untuk membuat film suatu saat nanti. Sambil sedikit bercanda Tika mengaku saat ini sudah ‘berdamai dengan dunia’, “Dan ternyata gue lebih suka seperti ini, menyampaikan sesuatu dengan cara merangkul, daripada dengan tangan mengepal, karena kalo lo pake cara itu ternyata yang ngedengerin lo cuma temen-temen lo sendiri. Jadi semakin ke sini gue jadi semacam kayak mengelola kemarahan gue, dibungkus sama sesuatu yang manis, sehingga dimakan ama orang. Kalo pahit mulu misalnya, ya ga ada yang mau nelen nanti.”

No comments:

Post a Comment