IndonesiaSeni.com, Jakarta
- Tika and The Dissidents, sebuah band yang memprovokasi pendengarnya
untuk mencoba berpikir ulang, membuka ruang pandang dan kemungkinan
tentang berbagai hal; Bahwa cinta tak hanya sah bila dijalani antara
laki-laki dan perempuan saja. Patah hati tak harus membuat kita menjadi
cengeng. Bahwa televisi ternyata bukan teman terbaik kita, karena
realitas yang tersaji di layar kaca seperti bius yang mematikan, membuat
kita lupa dan malas untuk berpikir kritis. Pembunuhan intelektualitas
yang dianalogikan seperti ketika Pol Pot membantai ribuan orang tak
berdosa di Kamboja itu disampaikan dalam irama tango yang segar dengan
lirik seperti ini :
It’s the nation’s celebration of amnesia
Who’s the real bad guy after all
When the nation tunes into their television
Weeping and waving goodbye
Underneath the silky road that his daughter paved us
Lies a million nameless graves
But the magic box’s a potent anasthesia…
Di
balik lirik-lirik ini terdapat seorang wanita bernama Kartika Jahja,
yang lebih suka dipanggil Tika. Ia vokalis sekaligus penulis lirik di
album The Headless Songstress, juga ikon utama band ini. Sebelumnya
Tika lebih dikenal sebagai penyanyi solo di scene indie, dan telah
mengeluarkan dua album di tahun 2005 yaitu Frozen Love Songs dan
Defrosted Love Songs. Melalui dua album tersebut, Tika dikenal sebagai
penyanyi solo wanita yang unik, bukan saja karena kemampuan teknik
vokalnya yang kuat, tetapi juga karena lagu-lagunya yang cenderung
bernuansa gelap dan lirik-lirik yang mengekspresikan kegalauan, yang
diinterpretasi sebagian orang sebagai musik yang ‘berat’. Kini Tika
ditemani oleh Susan Agiwitanto (bass), Okky Rahman Oktavian (Drum) dan
Luky Annash (Piano dan Keyboards). “Awalnya pada tahun 2006, dulu
setiap kali mau manggung pusing dengan masalah nyari additional player.
Akhirnya waktu itu gue dan Iman Fattah produser gue, mikir waktu itu
kita harus nyari band nih buat lo akhirnya bergabunglah anak-anak ini.
Dan akhirnya kita bikin lagu, dan pada saat bikin album, kayaknya ini
cocoknya Tika and The Dissidents, karena mereka juga equal dalam proses
album ini, dan influence terbesar gue pada saat itu memang musiknya
mereka. Jadi akhirnya terbentuklah Tika and The Dissidents. Dan gue
menemukan rumah gue di sini.”
Di
kedai kecil miliknya di bilangan Kemang, Tika bercerita mengenai
isu-isu yang menjadi perhatian dan inspirasi dalam menulis lirik untuk
albumnya. Salah satunya mengenai tayangan-tayangan di televisi. “Gue
dulu sempet puasa nonton TV selama 5 tahunan, karena setiap kali
nyalain TV, itu pasti gue marah-marah dan mood gue jadi jelek. Mereka
kok bikin acara TV ini sih, ini ditonton jutaan orang, mereka tau ga
sih? Sampai akhirnya gue berpikir kalo gue marah-marah kayak gini gak
ada gunanya buat siapa-siapa. Dari situ gue mulai nonton TV lagi, dengan
sudut pandang yang berbeda, dengan cara mengolok-olok apa yang kita
lihat di televisi dan lebih luasnya lagi di kehidupan sehari-hari. Dan
lirik dalam album ini sifatnya tidak menuding, dalam artian ‘lu brengsek
gua bener’, tapi kita mengolok-olok apa yang menurut kita pantes buat
dikritisi.”
Apa yang mau kamu sampaikan kepada pendengar band kamu?
“Muluk-muluk
kalo gue bilang ingin melakukan perubahan, karena yang kita lakukan
hanya ingin memberikan opini dari sudut pandang kita karena pada saat
itu ada beberapa tema yang menurut gue mubazir untuk dijadikan sebuah
karya. Dan nggak ada tendensi untuk membuat orang beropini sama dengan
kita. Dan ada beberapa hal yang inspiratif sekali buat gue, yang ada di
otak dan kenapa gak dituangkan ke dalam lirik. Dan dengan cara penulisan
yang gak terlalu lugas juga, jadi kita juga implisit cara menulisnya,
gak mungkin orang langsung nangkep ini tentang apa. Kecuali orang itu
bener-bener baca dan mencoba menalarkan itu. Itu karena gue gak mau
bikin jadi beban moral, karena kita emang gak ada tujuan untuk bikin
sesuatu yang sifatnya righteous atau punya pesan moral atau apa. Kalo
misalnya perubahan apa yang bisa kita buat ya mungkin bisa sedikit
memprovokasi kali ya. Kayak misalnya lagu Pol Pot itu gue seneng banget
beberapa orang yang tadinya tidak tahu Pol Pot jadi search di google,
jadi tahu siapa dia dan menurut gue itu udah lumayan, it’s a step lah.
Dibandingkan kalo kita misalkan terus-terusan nulis tentang cinta lagi,
cinta lagi, yang mana lagu tentang itu sebenernya juga ada di album ini,
cuma kita mencoba untuk membungkusnya dengan sesuatu yang lebih
provokating lah buat orang-orang supaya bisa dibahas.”
Tika mengaku tidak memiliki ekspektasi maupun target yang muluk-muluk ketika menuliskan lagu-lagunya. “Tapi
setidaknya, mengeluarkan pendapat itu penting karena orang Indonesia
bukan takut lagi, tapi malu untuk memberikan pendapat. Kalo jaman dulu
mungkin takut ya karena kita ditekan banget untuk berpendapat. Tapi kalo
jaman sekarang mungkin lebih ke ‘ah udah enak kok, semuanya baik-baik
aja, ga ada yg salah’ udah apatis gitu padahal di kehidupan kita tuh
selalu aja ada yang patut dikritisi.”
Penyanyi
yang memiliki hobi membaca ini mencoba untuk memberikan opininya
mengenai isu-isu yang sebenarnya sudah lama menjadi ketertarikannya dan
terbawa ketika ia menulis lagu, baik ketika masih bernyanyi solo maupun
sekarang bersama bandnya. Ia mencontohkan salah satu lagunya, Gugur
Sepatu, yang terdapat di album solonya, merupakan analoginya mengenai
ketergantungan perempuan terhadap laki-laki. Begitu juga lagu Under
Their Feet, yang bercerita mengenai sistem opresif.
Ketertarikannya
seputar isu gender, hak asasi manusia, hingga budaya massa, berawal
dari sebuah buku yang ia baca di penghujung 90-an, novel Ronggeng Dukuh
Paruk karya Ahmad Tohari. Ia mengibaratkan novel tersebut sebagai pintu
yang membuka rasa keingintahuannya, sehingga kemudian ia mencari
bacaan-bacaan lain, di antaranya novel-novel karangan Chuck Palahniuk
hingga teks-teks wajib anarkisme, nihilisme, dan buku-buku keluaran
CrimethInc. untuk terus memperkaya dirinya dengan pengetahuan baru yang
akhirnya dari sana kemudian berevolusi hingga ke lirik-lirik yang
ditulisnya. “Mungkin sebenernya ada magnet, ketertarikan gue untuk
menulis lirik-lirik seperti itu tanpa disengaja. Tapi gue gak mau itu
kemudian jadi label bagi diri gue untuk terus menulis hal-hal seperti
itu karena jadinya kayak tuntutan, gak seru lagi. Jadi dibiarkan
mengalir aja, kalo lagi patah hati ya gue nulis tentang lagu patah hati
cuma cara penulisannya aja jangan yang vulgar ampe bunuh diri hahaha..”
Inspirasinya
ketika membuat lagu menurutnya bisa didapat dari mana saja, ia
mencontohkan ketika proses pembuatan album The Headless Songstress ia
terinspirasi bukan saja dari buku Sedaris karangan Kevin Kopelson,
sebuah novel satir sosial di Amerika yang saat itu tengah dibacanya,
tetapi juga ia rajin menyimak TV, sinetron, tayangan reality show,
iklan-iklan pemutih wajah, hingga kebrengsekan manusia yang ia temui di
kehidupan sehari-hari.
Kolase
Album
The Headless Songstress milik Tika and The Dissidents rupanya mendapat
tanggapan positif dari publik penikmat musik Indonesia. Tahun 2009,
album ini mendapat penghargaan sebagai album terbaik versi Majalah
Tempo. Sekilas saja memperhatikan album ini terasa sekali bahwa mereka
tidak asal-asalan ketika menggarap sebuah album. Ketika yang lain
merilis album dengan standar yang sudah ada, mereka justru keluar dari
aturan umum dengan membungkus setiap album menggunakan kain yang
berbeda-beda untuk setiap albumnya, kemudian mereka menyelipkan sebuah
notebook mungil di mana pendengar mereka bisa menuliskan hal apapun.
“Aku
ingin mencari sesuatu yang lebih manusiawi dibandingkan dengan sesuatu
yang kayaknya termanufaktur banget, cetakan yang sama, dan sebagainya.
Aku ingin sesuatu yang lebih personal, gimana supaya lebih seperti itu
aku mikir kalo pake bungkus kain itu kayaknya feelingnya lebih warm aja
dibanding dengan misalnya bungkus plastik, plus di dalamnya ada
notebook. Nah, notebook itu, kenapa dikasih halaman kosong, karena kita
pengen jadi bagian dari isi otak kepala orang yang beli
album kita. Mereka bisa catet hal apapun itu. Dengan begitu kita udah
jadi bagian dari hidup mereka, dari pikiran mereka. Jadi kayak let’s
make a connection between us and the listeners dengan memberikan sesuatu
yang bisa mereka gunakan untuk mengeluarkan isi otak mereka. Tadinya
kepikiran apa ya untuk ngasih sesuatu yang affordable gitu, mungkin lucu
juga kalo kasih mereka suatu media recording yang bisa mereka kirim
balik ke kita, what you think about us. Cuma kayaknya itu mahal banget
ya hahahaha..”
Konsep album ini seperti apa?
“Sebenarnya
kita tidak membuat konsep apa-apa pada saat membuat musiknya, jadi
semuanya serba dibebasin aja, terserah mau bikin apa. Dan kita berlima
memiliki latar belakang yang berbeda banget, baik dari selera musiknya,
referensi, dan lain-lain. Kita gak pernah menetapkan mau jadi satu paket
genre atau apa. Baru setelah itu, kita bikin benang merahnya, dan
akhirnya kita menemukan konsep kolase. Karena album ini rasanya seperti
guntingan dari berbagai macam style yang digabung jadi satu komposisi.
Sehingga untuk art worknya, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
album ini sampai ke marketingnya kita pake kata kunci itu, kolase.” Jelasnya.
Jadi awalnya spontan aja ya?
“Ya,
kita merasa beruntung sekali, karena kita betul-betul 4 orang yang
bertolak belakang, kepribadiannya, dan sebagainya. Sehingga pada saat
kita merembukkan sesuatu misalnya, hasilnya selalu unpredictable, karena
ya itu tadi. Kadang akhirnya malah muncul sesuatu yang aneh dan oh iya
yah, lucu juga kalo digituin misalnya. Jadi kalo misalnya
mungkin ada beberapa orang yang bilang ini terkonsep sekali, padahal
sebenernya kita tidak mengkonsep itu sama sekali sampai akhirnya itu
jadi, baru abis itu kita bungkus. Kalo secara musik aku merasa kayak
mereka itu seperti wadah, gelas atau botol, kemudian aku cuma air yang
mengikuti apa yang udah mereka bikin. Cuma mungkin wadahnya untuk setiap
lagu itu beda-beda. Kalo aku analogiin yang satu ini ada botol kecap
dalam satu lagu, lagu yang lain mungkin gelas atau vas, cuma isi di
dalamnya sama, yaitu suara gue, kemudian itu yang jadi benang merah di
album ini. Karena mungkin di satu bagian ada si drummer mendominasi, di
satu lagu lain mungkn si pianis atau bassis yang dominan, dan aku
mencoba untuk mengisinya dengan sesuatu yang konsisten dalam tiap lagu.”
Tika
lantas bercerita bagaimana ia dan anak-anak muda yang terlibat di
dalamnya mengerjakan album ini dengan totalitas, mulai dari membuat
label sendiri hingga pemasarannya. “Sebenernya semuanya fall into
placesnya aja karena pertama, kita gak punya label jadi akhirnya kita
bikin label dengan tim marketing yang teman-teman juga dan mereka juga
gak punya pengalaman yang banyak sebelumnya di dunia marketing dan
industri musik. Tapi yang lebih penting adalah mereka punya passion yang
luar biasa terhadap band ini sehingga mereka bener-bener tau luar
dalamnya, sehingga bila dikatakan ini sebuah produk, mereka menjual
produk ini tanpa mengubah produknya sehingga jadinya mungkin lebih jujur
aja gitu ya, sesuai dengan hati nurani kita aja. Sehingga istilahnya
what you see is what you get. Dan tidak disangka-sangka ternyata
anak-anak ini mampu walaupun mereka masih muda-muda. Jadi menurut gue,
lo pada saat lo passion terhadap sesuatu, walaupun secara penghasilan
duit mungkin gak seberapa, tapi pada saat lo melakukan apa yang lo suka
itu akan terasa lebih memuaskan.”
Terminologi Indie
Tika
termasuk musisi yang menaruh perhatian terhadap perkembangan industri
musik tanah air dan prihatin terhadap kondisi musik indie di Indonesia
yang terjebak dalam terminologi major label vs indie label, hingga ia
menyarankan terminologi itu sebaiknya dihapus karena, “Intinya sih,
sesuatu itu kalo misalnya udah ada terminologinya kemudian jadi lebih
mudah untuk dieksploitasi. Gue ngalamin banget tuh mengenai terminologi
indie. Dan aku menyaksikan saat band-band indie ini lahir di pertengahan
90an, dan menurut gue itu sesuatu hal yang gila banget, ada spirit yang
luar biasa banget pada waktu itu kemudian semakin ke sini semakin luas,
sehingga kemudian dicomotlah itu dan sekarang kan banyak banget mulai
dari merk motor, merk rokok, yang memanfaatkan mereka dan itu kemudian
menurut gue kayak udah kehilangan nyawanya bahkan bisa dibilang udah
mati sebenernya cuma orang-orang kemudian memakai terminologi itu terus
menerus dan akhirnya yang kepepet, yang terekploitasi sekali lagi adalah
artis-artisnya. Karena untuk sebuah panggung dengan satu band major,
yang lagi di atas banget sekarang, itu mereka bisa dapetin 15 sampe 20
band indie dengan harga yang sama dan itu bisa dibilang murah gitu kan.
Dan itu lebih untuk kepentingan si brand-brand ini.”
Spirit
indie yang awalnya sebagai sebuah pemberontakan terhadap kemapanan itu
dirasakannya semakin mengabur, ketika kini begitu banyaknya band-band
baru bermunculan dengan membawa-bawa nama indie. “Sekarang musiknya
juga udah gak jelas, yang ngaku-ngaku indie segala macem itu udah
semakin gak jelas trus ada banyak label-label kecil yang bilang oh kita
indie label segala macem tapi jualan RBT dengan lagu-lagunya yang
gitulah, minor-minor melayu,” ucapnya sambil menyebut salah satu
band yang kini sering muncul di layar kaca. Ia melanjutkan penilaian
antara aspek apresiasi dengan aspek komersil industri musik Indonesia
saat ini belum seimbang. “Ada penghirarkian musik, di mana satu sisi
yang menganggap hirarki itu berdasarkan komersialitas yang mana yang
paling atas dianggap yang paling laku; di satu sisi ada juga yang
melihat apresiasi, yang paling njelimet adalah yang paling bagus.
Sekarang banyak muncul interpretasi juga ya kayak kalo aneh itu berarti
indie kadang-kadang dari dandanan lah, jadi kayak termanufactured ya
menurut gue. Dan ada beberapa orang yang yang ngeliat ‘wah, kalo lo
imagenya kayak anak bandel dan ternyata banyak yang suka, ya udah lo
terusin aja’ dan mereka bener-bener ngedorong sampe push it to the
limit, didorong terus, diperas sampe sari-sarinya hilang, sampe jadi gak
sehat. Sehingga spiritnya, nyawanya, udah lama mati tapi namanya masih
dipake terus. Nah kalo kayak gitu kan mendingan dihapusin aja sekalian
karena kasian jadinya. Dan lebih baik kita pake istilah musik ya musik
aja, pilihannya berdasarkan selera.”
No comments:
Post a Comment